Pages

"MENGURAI KEINGINAN UNTUK TIDAK HANYA TERBATAS PADA RUANG KONSEP DAN TEORITIK. BERGABUNG DALAM GERAKAN PRAXIS UNTUK REVOLUSI LEBIH SISTEMIK"

Mengenai Saya

Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
"Memahami kesederhanaan dan simbol-simbol perlawanan yang tak kan pernah usang dalam sejarah masa depan"

Total Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 01 Agustus 2012

BARA DALAM SEKAM; KONFLIK PERTANAHAN PETANI OI VS PTPN VII CINTA MANIS

Oleh : Abdul Kholek, S.Sos. MA
(Direktur South Sumatra Recources Institute)
Sejarah Konflik 

Pendirian Perkebunan Tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis oleh PTP XXI-XXII (VII) berdasarkan SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan, merupakan upaya pemerintah memenuhi Swasembada gula dalam negeri pada waktu itu. Awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai 21.358 Ha. Penyediaan lahan dilakukan melalui SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16 November 1981. 

Lahan yang disediakan oleh pemerintah provinsi seluas 21.358 Ha, dibagi menjadi enam satuan hamparan atau rayon.  Rayon I dan II  terletak di Desa Burai dan sekitarnya (60 Km dari pabrik) dengan topografi rata sampai landai.  Rayon III, IV dan V berada di wilayah Desa Ketiau, Seri Bandung, Seri Kembang dan sekitarnya.  Rayon VI berada di Desa Rengas dan sekitarnya (25 Km dari Pabrik) bertopografi landai sampai berbukit kecil.(Profil PTPN VII)

Pendirian perkebunan tebu dan pabrik gula tersebut, merupakan bagian dari proyek industrialisasi pada masa orde baru, ketika ideologi pembangunan (developmentalisme) bertengger kokoh dengan dukungan hampir semua elemen negara. Penyulapan lahan pertanian menjadi ranjang industri perkebunan dengan alibi untuk kepentingan masyarakat banyak, hanyalah akal-akalan negara demi akumulasi modal yang sebesar-besarnya. Menurut hasil riset (tesis) yang dilakukan selama satu tahun di OI, bahwa Lahan tersebut dibebaskan secara paksa, ganti rugi hanya 25 rupiah/meter persegi, penggusuran dan peminggiran rakyat petani dari lahan mereka dilegalkan melalui surat keputusan pemerintah.  Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk arogansi negara terhadap masyarakat sipil diwaktu itu.  Realitas inilah yang dirasakan masyarakat pada saat berdirinya PTPN VII Cinta Manis hingga kini masih terekam dengan jelas “bara dalam sekam masih tersemai”.  

Fase Perlawanan Petani OI 

Kebencian petani pada perusahaan dan aparat negara yang bertindak tidak adil pada waktu ganti rugi merupakan bara dalam sekam, akhirnya melahirkan gerakan fase perlawanan yang panjang dari masyarakat. Berdasarkan hasil studi pendalaman kasus tercatat empat gelombang perlawanan petani sebagai upaya untuk merebut kembali penguasaan atas tanah.  Gelombang pertama tahun 1981-1990 fase ini gerakan dilakukan secara personal, dilakukan dalam lingkup keluarga kecil, tidak terlalu frontal, dan belum sistematik.  Isu pada fase ini yaitu ganti rugi yang tidak seimbang, serta tindakan represif aparat.  

Gelombang kedua tahun 1991-2000 fase ini gerakan dilakukan secara berkelompok, melalui lobi dan proses litigasi, bahkan tahun 1996 kelompok dari masyarakat Desa Rengas memenangkan gugatan ditingkat MA.  Isu fase ini hampir sama dengan fase pertama, serta dipicu juga oleh meninggalnya salah satu warga akibat dianianya aparat pada waktu itu.  Gelombang ketiga tahun 2001-2009 fase ini gerakan dilakukan secara kolektif dan lebih frontal, puncak perlawanan tersebut pada 4 Desember 2009 saat terjadi penembakan 12 petani oleh anggota SAT BRIMOB POLDA SUM-SEL.  Akhir dari gelombang ketiga inilah masuknya kerja avokasi yang dilakukan oleh berbagai aktivis NGO.  

Masuknya NGO memberikan efek positif bagi perjuangan masyarakat diantaranya; mampu menguatkan kapasitas masyarakat sipil, hal ini ditandai dengan adanya respon dari pengambil kebijakan, meningkatnya  partisipasi masyarakat dalam pengembangan demokrasi lokal, serta bisa diantisipasinya kriminalisasi terhadap petani. Kerja advokasi yang dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil dalam konflik pertanahan petani OI versus PTPN VII Cinta Manis, merupakan upaya untuk mengawal dan memberikan dukungan pada masyarakat marginal. Pola hubungan konflik yang tidak seimbang dikarenakan adanya kedudukan dan kekuasaan yang tidak sama, berakibat upaya pelemahan secara sistemik oleh kelompok yang dominan dalam hal ini negara.  Penembakan dan upaya kriminalisasi merupakan bagian dari intervensi negara terhadap perlawanan petani OI.

Fase keempat tahun 2010 – kini, perlawanan petani semakin memanas, hingga Jum’at 27 Juli 2012 di Desa Limbang Jaya kembali jatuh korban dari masyarakat lemah, akibat arogansi negara melalui aparatnya. Dan sangat wajar jika konflik pertanahan dimanapun dan kapanpun akan tetap ada karena memang dibiarkan dan diabaikan oleh pengambil kebijakan.                 

Hadirnya unsur masyarakat sipil kedalam wilayah konflik dengan asumsi untuk mentransformasikan pola huhungan yang seimbang, kondisi ini akan sangat bermanfaat bagi pihak yang lemah dalam hal ini petani OI. Tetapi dilain pihak secara jujur harus kita akui bahwa pola hubungan konfrontasi dengan negara dalam hal ini pemerintah tidak selamanya merupakan jalan yang positif, karena akan berakibat pada dis-trust atau ketidakpercayaan dan bahkan pembangkangan yang terus menerus dari masyarakat, gejala tersebut mulai terlihat akhir-akhir ini.  Akhirnya perang berutal antara petani versus aparat bersenjata berulang lagi, kemarin, hari ini dan mungkin esok...!!! 

Menggugat Peran Negara

Konflik pertanahan petani Rengas versus PTPN VII Cinta Manis yang mengakibatkan aksi kekerasan dan penembakan terhadap 12 petani Rengas 4 Desember 2009, seharusnya tidak terulang lagi di Ogan Ilir. Upaya preventif, mediasi yang adil seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah perulangan konflik kekerasan. Tapi sayangnya ada kesalahan logika negara dalam menghadapi persoalan konflik pertanahan yang cukup pelik ini. Mereka membiarkan fase krisis dan pasca konflik sebagai fase yang kondusif padahal inilah “Bara Dalam Sekam”.

Balajar dari pengalaman kasus Rengas dan penembakan petani Limbang Jaya OI. Pemerintah dalam hal ini provinsi Sumatera Selatan harus lebih tanggap dalam upaya penyelesaian konflik pertanahan yang cukup banyak terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Kriminalisasi terhadap petani dan tindakan represif bukanlah alternatif yang terbaik untuk meredam konflik, tindakan demikian malah membuat konflik semakin keras, berlarut-larut dan akhirnya berujung kekerasan yang sistemik.

Konflik yang berujung pada kekerasan tersebut menjadi pekerjaan rumah khususnya pemerintah daerah untuk lebih banyak belajar dari pengalaman.  Hal ini dikarenakan pertama, tidak adanya peran yang jelas diambil oleh pemerintah daerah dalam memediasi konflik pertanahan secara lebih adil dan berpihak pada masyarakat kecil (petani), kedua  adanya kesan pembiaran konflik oleh pemerintah pusat maupun daerah; tim yang dibentuk lebih condong pada formalitas dan mengarahkan penyelesaian melalui proses litigasi tidak memberikan alternatif yang lebih menguntungkan masyarakat, ketiga, persfektif pemerintah yang kurang tanggap terhadap isu-isu yang sensitif, dan bahkan bergerak setelah ada kejadian bukan melakukan antisipasi atau upaya pencegahan terhadap suatu kejadian. Jika ketiga kekeliruan ini akan terus dipakai dalam logika dan nalar pengambil kebijakan. Tentunya ketidakmerdekaan petani akan terus berlanjut dan korban akan terus berjatuhan...!!!
 

Blogger news

Blogroll

About