Oleh : Abdul Kholek, S.Sos. MA
(Direktur South Sumatra Recources Institute)
Sejarah Konflik
Pendirian Perkebunan Tebu
dan Pabrik Gula Cinta Manis oleh PTP XXI-XXII (VII) berdasarkan SK Mentan No. 076/Mentan/I/1981 tanggal 2 Februari 1981, tentang izin prinsip pendirian
perkebunan tebu dan pabrik di Sumatera Selatan, merupakan upaya pemerintah memenuhi Swasembada gula dalam negeri pada
waktu itu. Awalnya lahan yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut mencapai 21.358
Ha. Penyediaan lahan dilakukan melalui
SK Gubernur KDH tingkat I Sumatera Selatan No. 379/I/1981 tanggal 16 November
1981.
Lahan yang disediakan
oleh pemerintah provinsi seluas 21.358 Ha, dibagi menjadi enam satuan hamparan
atau rayon. Rayon I dan II terletak di Desa Burai dan sekitarnya (60 Km
dari pabrik) dengan topografi rata sampai landai. Rayon III, IV dan V berada di wilayah Desa
Ketiau, Seri Bandung, Seri Kembang dan sekitarnya. Rayon VI berada di Desa Rengas dan sekitarnya
(25 Km dari Pabrik) bertopografi landai sampai berbukit kecil.(Profil
PTPN VII)
Pendirian perkebunan tebu
dan pabrik gula tersebut, merupakan bagian dari proyek industrialisasi pada
masa orde baru, ketika ideologi pembangunan (developmentalisme) bertengger kokoh dengan dukungan hampir semua elemen negara. Penyulapan
lahan pertanian menjadi ranjang industri perkebunan dengan alibi untuk
kepentingan masyarakat banyak, hanyalah akal-akalan negara demi akumulasi modal yang sebesar-besarnya. Menurut
hasil riset (tesis) yang dilakukan selama satu tahun di OI, bahwa Lahan tersebut dibebaskan secara paksa, ganti rugi
hanya 25 rupiah/meter persegi, penggusuran dan
peminggiran rakyat petani dari lahan mereka dilegalkan melalui surat keputusan pemerintah. Kondisi tersebut merupakan salah satu bentuk arogansi negara terhadap masyarakat sipil diwaktu itu. Realitas inilah yang
dirasakan masyarakat pada saat berdirinya
PTPN VII Cinta Manis hingga kini masih terekam dengan jelas “bara
dalam sekam masih tersemai”.
Fase Perlawanan Petani OI
Kebencian petani pada perusahaan dan aparat negara yang bertindak tidak adil pada waktu ganti rugi
merupakan bara dalam sekam, akhirnya melahirkan
gerakan fase perlawanan yang
panjang dari masyarakat. Berdasarkan hasil studi pendalaman kasus tercatat empat gelombang perlawanan petani sebagai upaya untuk merebut kembali penguasaan atas tanah.
Gelombang pertama tahun 1981-1990 fase ini gerakan dilakukan secara
personal, dilakukan dalam lingkup keluarga kecil, tidak terlalu frontal, dan belum sistematik. Isu pada fase ini yaitu ganti rugi yang tidak
seimbang, serta tindakan represif aparat.
Gelombang kedua tahun 1991-2000 fase ini gerakan
dilakukan secara berkelompok, melalui lobi dan proses litigasi, bahkan tahun
1996 kelompok
dari masyarakat Desa Rengas memenangkan gugatan ditingkat MA. Isu fase ini
hampir sama dengan fase pertama, serta dipicu juga oleh meninggalnya salah satu warga akibat dianianya aparat pada
waktu itu. Gelombang ketiga tahun 2001-2009 fase ini
gerakan dilakukan secara kolektif dan lebih frontal, puncak perlawanan tersebut
pada 4 Desember 2009 saat terjadi penembakan 12 petani oleh anggota SAT BRIMOB POLDA SUM-SEL. Akhir dari gelombang ketiga inilah masuknya kerja avokasi yang
dilakukan oleh berbagai aktivis NGO.
Masuknya NGO memberikan efek positif bagi perjuangan masyarakat diantaranya; mampu menguatkan kapasitas masyarakat sipil, hal ini ditandai dengan adanya respon dari pengambil kebijakan, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan demokrasi lokal, serta bisa diantisipasinya kriminalisasi terhadap petani. Kerja advokasi yang dilakukan oleh kalangan masyarakat sipil dalam konflik pertanahan petani OI versus PTPN VII Cinta Manis, merupakan upaya untuk mengawal dan memberikan dukungan pada masyarakat marginal. Pola hubungan konflik yang tidak seimbang dikarenakan adanya kedudukan dan kekuasaan yang tidak sama, berakibat upaya pelemahan secara sistemik oleh kelompok yang dominan dalam hal ini negara. Penembakan dan upaya kriminalisasi merupakan bagian dari intervensi negara terhadap perlawanan petani OI.
Fase keempat tahun 2010 – kini, perlawanan petani semakin memanas, hingga Jum’at 27 Juli 2012 di Desa Limbang Jaya kembali jatuh korban dari masyarakat lemah, akibat arogansi negara melalui aparatnya. Dan sangat wajar jika konflik pertanahan dimanapun dan kapanpun akan tetap ada karena memang dibiarkan dan diabaikan oleh pengambil kebijakan.
Hadirnya unsur masyarakat sipil kedalam wilayah konflik dengan asumsi untuk mentransformasikan pola huhungan yang seimbang, kondisi ini akan sangat bermanfaat bagi pihak yang lemah dalam hal ini petani OI. Tetapi dilain pihak secara jujur harus kita akui bahwa pola hubungan konfrontasi dengan negara dalam hal ini pemerintah tidak selamanya merupakan jalan yang positif, karena akan berakibat pada dis-trust atau ketidakpercayaan dan bahkan pembangkangan yang terus menerus dari masyarakat, gejala tersebut mulai terlihat akhir-akhir ini. Akhirnya perang berutal antara petani versus aparat bersenjata berulang lagi, kemarin, hari ini dan mungkin esok...!!!
Menggugat Peran Negara
Konflik pertanahan petani Rengas versus PTPN VII Cinta Manis yang mengakibatkan aksi kekerasan dan penembakan terhadap 12 petani Rengas 4 Desember 2009, seharusnya tidak terulang lagi di Ogan Ilir. Upaya preventif, mediasi yang adil seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah perulangan konflik kekerasan. Tapi sayangnya ada kesalahan logika negara dalam menghadapi persoalan konflik pertanahan yang cukup pelik ini. Mereka membiarkan fase krisis dan pasca konflik sebagai fase yang kondusif padahal inilah “Bara Dalam Sekam”.
Balajar dari pengalaman kasus Rengas dan penembakan petani Limbang Jaya OI. Pemerintah dalam hal ini provinsi Sumatera Selatan harus lebih tanggap dalam upaya penyelesaian konflik pertanahan yang cukup banyak terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Kriminalisasi terhadap petani dan tindakan represif bukanlah alternatif yang terbaik untuk meredam konflik, tindakan demikian malah membuat konflik semakin keras, berlarut-larut dan akhirnya berujung kekerasan yang sistemik.
Konflik yang berujung pada kekerasan tersebut menjadi pekerjaan rumah khususnya pemerintah daerah untuk lebih banyak belajar dari pengalaman. Hal ini dikarenakan pertama, tidak adanya peran yang jelas diambil oleh pemerintah daerah dalam memediasi konflik pertanahan secara lebih adil dan berpihak pada masyarakat kecil (petani), kedua adanya kesan pembiaran konflik oleh pemerintah pusat maupun daerah; tim yang dibentuk lebih condong pada formalitas dan mengarahkan penyelesaian melalui proses litigasi tidak memberikan alternatif yang lebih menguntungkan masyarakat, ketiga, persfektif pemerintah yang kurang tanggap terhadap isu-isu yang sensitif, dan bahkan bergerak setelah ada kejadian bukan melakukan antisipasi atau upaya pencegahan terhadap suatu kejadian. Jika ketiga kekeliruan ini akan terus dipakai dalam logika dan nalar pengambil kebijakan. Tentunya ketidakmerdekaan petani akan terus berlanjut dan korban akan terus berjatuhan...!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar