Oleh : Abdul Kholek, M.A
Peneliti,
South Sumatra Resources Institute
Outsourcing menjadi mantra gugatan
yang tidak pernah usang dari gerakan buruh hingga hari ini, mengapa outsourcing
digugat ?, dan mengapa pula outsourcing dibela secara mati-matian oleh pemilik
modal dan otoritas ?
Jika dilacak praktek outsourcing di
Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an melalui industri-industri
kapitalistik, model kerja
tersebut dilegalkan berdasarkan keputusan
Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak. Diera reformasi diperkuat dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,
meskipun sudah dibatalkan oleh MK tetapi praktek outsourcing masih dijalankan
hingga kini.
Praktek dan perkembangan sistem kerja
outsoucing hingga kini hampir diadopsi oleh semua institusi, baik swasta bahkan
negara sekalipun. Berkembang pesatnya sistem kerja outsourcing dikarenakan
beberapa keuntungan; Pertama, efisiensi kerja karena
perusahaan produksi dapat melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan
outsourcing; Kedua, resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada
pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan
menekan resiko sekecil mungkin; Ketiga, sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk
kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi; Keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang sebelumnya untuk investasi
dapat digunakan untuk biaya operasional; Kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil
dan murah; Keenam, mekanisme
kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.
Berbagai identifiksi keuntungan
tersebut merupakan rasionalisasi dukungan penuh dilakukan oleh pemerintah terhadap
mekanisme kerja outsourcing. Kondisi ini
akan berbanding terbalik jika dilekatkan pada kondisi buruh dengan penerapan
sistem kerja outsourcing.
Dalam persfektif buruh, outsourcing
mengakibatkan hubungan perburuhan semakin kabur. Buruh tidak bisa secara
langsung menuntut hak-haknya
karena dibatasi oleh perjanjian sepihak perusahaan outsourcing. Buruh
dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat,
upah tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi
buruh. Pelanggaran
terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhentian secara
langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing, digantikan
oleh tentara-tentara cadangan.
Kondisi inilah menurut Celia Mather, bahwa
outsourcing mengakibatkan
lahirnya tiga masalah utama yang
dihadapi buruh yaitu pertama, tersingkirnya
buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi;
kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap
sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam
ketidakpastian.
Jika menyandarkan analisis Karl Marx
dalam praktek outsourcing, ada dua hal utama yang dijadikan dasar filosofis
gerakan buruh menggugat outsourcing yaitu; alienasi
buruh dan nilai surplus.
Buruh outsourcing
baik secara struktural maupun fungsional terjerat
dalam perangkap alienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak
perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh
telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini
sesungguhnya mirip ”jual beli manusia” (human
trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.
Beberapa
indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu, pertama; buruh kehilangan kesempatan
untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx,
buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak
bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk
kapitalis. Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh
tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk
tersebut hak milik kapitalis. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang
memproduksi barang atau
jasa untuk kepentingan kapitalis dan
pemilik modal.
Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini
sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja outsourcing ada varian
lain, berbeda dengan kapitalisme
awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh).
Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai puncaknya, dikarenakan buruh harus menjadi aktor yang loyal karena
perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan
pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan
pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekuatan yang
menghegemoni buruh untuk tunduk.
Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan
mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan
pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja
outsourcing, regulasi-regulasi yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan
buruh tidak merdeka sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan
pengerukan tenaga dan usaha yang
maksimum.
Nilai surplus
yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi yang
dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari
haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak
ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai
melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari waktunya diperas
oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah
bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan
kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan. Sistem outsourcing memberikan
ruang yang semakin kuat untuk praktek pemerasan terhadap nilai surplus yang
dihasilkan buruh.
Sudah saatnya para pengambil kebijakan
untuk arif dan bijaksana menyikapi gugatan tahuhan dilakukan oleh kaum buruh. Karena memang senyatanya model
kerja outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar
buruh, oleh para pemilik
modal. Selain itu sistem tersebut sesungguhnya
mirip ”jual beli manusia” (human
trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.
Dengan berbagai
anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga wajar gugatan terhadap model kerja
outsourcing akan terus berlanjut, entah sampai kapan...!!!