Pages

"MENGURAI KEINGINAN UNTUK TIDAK HANYA TERBATAS PADA RUANG KONSEP DAN TEORITIK. BERGABUNG DALAM GERAKAN PRAXIS UNTUK REVOLUSI LEBIH SISTEMIK"

Mengenai Saya

Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
"Memahami kesederhanaan dan simbol-simbol perlawanan yang tak kan pernah usang dalam sejarah masa depan"

Total Pengunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 01 Mei 2013

MENGGUGAT MODEL KERJA OUTSOURCING


Oleh : Abdul Kholek, M.A

Peneliti, South Sumatra Resources Institute

Outsourcing menjadi mantra gugatan yang tidak pernah usang dari gerakan buruh hingga hari ini, mengapa outsourcing digugat ?, dan mengapa pula outsourcing dibela secara mati-matian oleh pemilik modal dan otoritas ?
Jika dilacak praktek outsourcing di Indonesia sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1980-an melalui industri-industri kapitalistik, model kerja tersebut dilegalkan berdasarkan keputusan Menteri Perdagangan RI No. 264/KP/1989 Tentang Pekerjaan Sub-kontrak. Diera reformasi diperkuat dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, meskipun sudah dibatalkan oleh MK tetapi praktek outsourcing masih dijalankan hingga kini.

Praktek dan perkembangan sistem kerja outsoucing hingga kini hampir diadopsi oleh semua institusi, baik swasta bahkan negara sekalipun. Berkembang pesatnya sistem kerja outsourcing dikarenakan beberapa keuntungan; Pertama, efisiensi kerja karena perusahaan produksi dapat melimpahkan kerja-kerja operasional kepada perusahaan outsourcing; Kedua, resiko operasional perusahaan dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Sehingga pemanfaatan faktor produksi bisa dimaksimalkan dengan menekan resiko sekecil mungkin; Ketiga, sumber daya perusahaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan lain yang lebih fokus dalam meningkatkan produksi; Keempat, mengurangi biaya pengeluaran (capital expenditure) karena dana yang sebelumnya untuk investasi dapat digunakan untuk biaya operasional; Kelima perusahaan dapat mempekerjakan tenaga kerja yang terampil dan murah; Keenam, mekanisme kontrol terhadap buruh menjadi lebih baik.

Berbagai identifiksi keuntungan tersebut merupakan rasionalisasi dukungan penuh dilakukan oleh pemerintah terhadap mekanisme kerja outsourcing.  Kondisi ini akan berbanding terbalik jika dilekatkan pada kondisi buruh dengan penerapan sistem kerja outsourcing.

Dalam persfektif buruh, outsourcing mengakibatkan hubungan perburuhan semakin kabur. Buruh tidak bisa secara langsung menuntut hak-haknya karena dibatasi oleh perjanjian sepihak perusahaan outsourcing. Buruh dituntut untuk memenuhi persyaratan dalam outsourcing, jam kerja yang padat, upah tidak seimbang, tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhentian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing, digantikan oleh tentara-tentara cadangan.

Kondisi inilah menurut Celia Mather, bahwa outsourcing mengakibatkan lahirnya tiga masalah utama yang dihadapi buruh yaitu pertama, tersingkirnya buruh dari meja atau kesepakatan negosiasi; kedua, tidak adanya tanggung jawab hukum perusahaan terhadap buruh; ketiga berkurangnya buruh tetap sehingga semua buruh masuk kedalam outsourcing, kondisi buruh dalam ketidakpastian.

Jika menyandarkan analisis Karl Marx dalam praktek outsourcing, ada dua hal utama yang dijadikan dasar filosofis gerakan buruh menggugat outsourcing yaitu; alienasi buruh dan nilai surplus.

Buruh outsourcing baik secara struktural maupun fungsional terjerat dalam perangkap alienasi. Sistem outsourcing yang melibatkan broker sebagai pihak perantara penyedia buruh, dan juga perusahaan inti yang memanfaatkan buruh telah melakukan praktek alienasi yang tidak bisa ditolerir. Praktik ini sesungguhnya mirip ”jual beli manusia” (human trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.

Beberapa indikator dari alienasi buruh dalam sistem kerja outsourcing yaitu, pertama; buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis. Kedua, buruh teralienasi dari produk hasil kerja mereka. Buruh tidak memiliki hak untuk memiliki produk hasil produksi mereka, karena produk tersebut hak milik kapitalis. Buruh diposisikan sebagai faktor produksi yang memproduksi barang atau jasa untuk kepentingan kapitalis dan pemilik modal.

Ketiga, buruh teralienasi dari sesama pekerja. Fenomena ini sebenarnya telah lama terjadi, tetapi dalam kasus kerja outsourcing ada varian lain, berbeda dengan kapitalisme awal, dimana hubungan buruh hanya antara kelas borjuis dan proletar (buruh). Keterasingan pekerja sesama pekerja outsourcing mencapai puncaknya, dikarenakan buruh harus menjadi aktor yang loyal karena perjanjian outsourcing telah mereka sepakati. Persyarakatan yang memberatkan pihak buruh sehingga pelanggaran terhadap perjanjian akan mengakibatkan pemecatan. Struktur yang dibangun benar-benar menjadi kekuatan yang menghegemoni buruh untuk tunduk.

Keempat, buruh tealienasi dari kemanusiaan mereka sendiri, hal ini dikarenakan kerja tidak lagi menjadi transformasi dan pemenuhan sifat dasar manusia. Kondisi ini juga terjadi dalam sistem kerja outsourcing, regulasi-regulasi yang cukup kuat mencengkram buruh menjadikan buruh tidak merdeka sepenuhnya. Buruh hanya menerima gaji yang minimum dengan pengerukan tenaga  dan usaha yang maksimum.

Nilai surplus yang diungkapkan Marx, mengasumsikan bahwa buruh berada pada posisi yang dikeruk dan dieksploitasi secara maksimal oleh kapitalis. Buruh di ingkari haknya, dijadikan mesin yang bekerja patuh dengan batas waktu yang tidak tidak ditentukan. Sebagai contoh dalam waktu enam jam seorang buruh sudah selesai melaksankan kewajiban dasar kerja mereka, tetapi lebih dari waktunya diperas oleh kapitalisme untuk keuntungan mereka, inilah bentuk dari nilai surplus. Marx menyebut rasio antara kerja yang diperlukan dan kerja suplus sebagai tingkat nilai surplus atau tingkat pemerasan.  Sistem outsourcing memberikan ruang yang semakin kuat untuk praktek  pemerasan terhadap nilai surplus yang dihasilkan buruh.

Sudah saatnya para pengambil kebijakan untuk arif dan bijaksana menyikapi gugatan tahuhan dilakukan oleh kaum buruh.  Karena memang senyatanya model kerja outsourcing merupakan pencederaan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar buruh, oleh para pemilik modal. Selain itu sistem tersebut  sesungguhnya mirip ”jual beli manusia” (human trafficking) yang dilegalisasi oleh negara.

Dengan berbagai anomali-anomali dari model kerja tersebut, sehingga wajar gugatan terhadap model kerja outsourcing akan terus berlanjut, entah sampai kapan...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About